Yogyakarta, Kabar Jogja – Masyarakat pencari pasir di Sungai Progo yang tergabung dalam Kelompok Penambang Progo (KPP) menilai aturan penggunaan alat mekanik dalam menambang seperti menganaktirikan mereka.
Keluhan ini disampaikan belasan masyarakat yang mewakili rekan-rekannya profesi penambang pasir yang selama ini beroperasi di Srandakan, Bantul maupun Lendah, Kulon Progo saat mengadu ke DPRD DIY, Senin (14/4).
“Penggunaan alat mekanik untuk menambang diperbolehkan pemerintah asalkan mereka memiliki badan usaha pertambangan. Kebijakan ini seperti menganak tirikan kami dalam hal penambangan pari di Sungai Progo,” kata Koordinator KPP Yunianto.
Tidak hanya tak adil, aturan ini juga dinilai diskriminatif. Pasalnya dalam pengurusan izin pertambangan, KPP terkesan berbelit, dilarang menggunakan alat mekanik, penarikan pajak oleh Pemkab meski izin penambangan belum dikeluarkan.
Sebenarnya, anggota KPP sebagai sudah mendapatkan izin menambang sejak 2019. Tetapi setelah 5 tahun masa berlaku izin tersebut habis, dan harus diperpanjang kembali.
"Teman-teman tidak ada yang memperpanjang izin lagi, karena ada kebijakan baru bahwa izin yang akan diterbitkan gak diberi alat rekomtek lagi, ini mendegradasi kelas penambang rakyat," jelasnya.
Menurut Yuni, regulasi pemerintah pusat dengan pemerintah DIY yang berlawanan menjadi salah satu penyebab mengapa pemenuhan hak-hak penambang rakyat terkendala.
"Pemda DIY jangan membuat regulasi bertentangan negara ini. Tata urutan undang-undang di bawahnya kan tidak boleh berlawanan diatasnya," ujarnya.
Dia mengklaim dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara, menyebut penambang perorangan boleh menggunakan alat mekanik maksimal 20 PK.
Yuni menyampaikan sampai saat ini sudah ada 18 kelompok penambang rakyat yang tidak memperpanjang izinnya.
Dalam waktu dekat diperkirakan jumlahnya akan bertambah lantaran pada 28 Mei 2025 mendatang 12 kelompok tambang rakyat akan habis izinnya.
"Tidak ada hasrat teman-teman perpanjang, kenapa? Perpanjang izin hanya diberi pacul senggrong, sama linggis. Sedangkan pengusaha (IUP) dikasih alat berat. Ini kan sangat jomplang antara penambang rakyat sama perusahaan," tegasnya.
Kabid Operasi dan Pemeliharaan SDA BBWS Serayu Opak (SO), Lolo Wahyu, mengatakan semua aturan teknis sudah tertulis dalam regulasi hukum yang berlaku.
“Apabila para penambang rakyat ingin menggunakan alat mekanik sebaiknya mengajukan IUP (berbadan usaha). Sehingga kedepan penambang masyarakat bisa menggunakan mesin," terang dia.
Wakil Ketua Komisi C DPRD DIY, Amir Syarifudin menambahkan, perbedaan persepsi pemahaman Undang-undang tentang penambang itu dahulu di Provinsi. Namun hal itu kembali ditarik ke pusat, dan dikembalikan lagi ke provinsi, itu harus ada sinkronisasi pemahaman. Termasuk terkait dengan alat.
“Biar nanti tidak liar. Semisal ada atensi, ya biar atensinya itu kepada pendapatan asli daerah bukan kepada oknum yang lainnya. Hal itu yang akan kami tekankan,” kata Amir yang berasal dari Fraksi PKS. (Set)