Bantul, Kabar Jogja - Usai pernyataan sikap menolak pengesahan UU TNI, dosen hukum tata negara di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Nanik Prasetyoningsih, melihat campur aduknya ranah sipil dan militer dapat membahayakan iklim demokrasi di Indonesia.
Pandangan masuknya TNI ke ranah sipil untuk memperkuat supremasi hukum perlu dikaji lagi. Penanganan hukum di masyarakat sipil sudah berjalan dengan sangat baik oleh lembaga yang berwenang, masuknya TNI berseragam akan melanggar konstitusi.
“Sudut pandang masuknya TNI, khususnya di dua Mahkamah Konstitusi dan Kejaksaan sebagai upaya memperkuat supremasi hukum di masyarakat haruslah dikaji mendalam serta perlu diubah,” kata Nanik usai pembacaan sikap akademisi UMY, Sabtu (22/3).
Baginya sudut pandang ini haruslah dilihat apakah benar-benar kehadiran TNI berseragam akan memperkuat. Kondisinya, per hari ini penegakan hukum di negeri ini disebutnya masih perlu diperjuangan. Masih ada persoalan hukum tebang pilih, ada yang diselesaikan dengan baik, ada pula yang dipeti es-kan.
Nanik menegaskan, bukan tidak memperbolehkan TNI masuk dalam berbagai kementerian/lembaga sipil, tetapi masing-masing institusi tersebut memiliki tugas sendiri. Seharusnya sesuai konstitusi TNI harusnya kembali ke barak, melakukan tugas-tugasnya secara profesional dalam mempertahankan keamanan serta stabilitas kedaulatan negara.
“MA dan Kejaksaan itu ranah tugasnya pada teknik yudisial dan menjaga independensi kekuasaan kehakiman. Ketika TNI masuk, bagaimana mempertahankan independensi dan imparsial pengadilan,” tuturnya.
Dengan telah disahkannya RUU TNI, jalan keluar paling damai yang menurut Nanik masih dapat dilakukan adalah dengan judicial review terhadap isi dari pasal-pasal di dalamnya. Ia juga mengingatkan kontroversial apapun proses pembahasan, pembentukan dan substansinya, RUU TNI telah disahkan sebagai produk hukum yang legal dan mengikat.
“Kita tidak perlu menunggu hingga undang-undang tersebut melanggar hak-hak dari sipil untuk mengajukan judicial review. Selama terdapat potensi pelanggaran hak-hak tersebut secara konstitusional, seperti dengan adanya perluasan Operasi Militer Selain Perang, maka itu sudah cukup untuk mengajukan pengujian UU TNI ke MK. Dan siapapun, termasuk masyarakat, dapat melakukan permohonan judicial review,” tegas Nanik.
Wakil Rektor bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan UMY, Zuly Qadir, ketakutan akan meluas dan menguatnya peran militer dalam politik kekuasaan karena akan mengaburkan komitmen ‘gentlement agreement’. Dimana TNI harus kembali ke barak dan menjadi alat pertahanan negara yang kuat, tangguh dan profesional.
“Kami menuntut TNI/Polri, sebagai alat negara, melakukan reformasi internal dan meningkatkan profesionalisme untuk memulihkan kepercayaan public,” jelasnya.
Akademisi UMY juga menuntut Pemerintah dan DPR menjunjung tinggi konstitusi dan tidak mengkhianati amanat rakyat dengan menjaga prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Di poin enam pernyataan sikapnya, akademisi UMY mendorong masyarakat sipil melakukan Jihad konstitusi, mengajukan Judicial Review (JR) atas RUU TNI yang sudah resmi menjadi UU. (Set)