Yogyakarta, Kabar Jogja – Program pemotongan anggaran di dua kementerian yang mengurusi pendidikan dinilai pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada, Agus Sartono berpontensi menurunkan mutu pendidikan. Bahkan lebih bahayanya, efisiensi anggaran dapat menyebabkan kontraksi ekonomi.
Seperti diketui Presiden Prabowo Subianto memutuskan memotong anggaran di Kemendiktisaintek sebesar Rp14,3 triliun dari pagu anggaran Rp56,6 triliun. Lalu di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang anggaran awal Rp33,5 triliun dipangkas sebesar Rp8 triliun hingga menyisakan Rp25,5 triliun untuk dikelola sepanjang tahun.
Agus yang merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis mengatakan pemotongan anggaran pendidikan, jangan sampai mengabaikan hak-hak aktor utama penggerak sektor pendidikan yaitu guru, dosen, dan tenaga kependidikan.
“Pasalnya para aktor tersebut memiliki peran penting dalam pendidikan. Berbeda dengan infrastruktur bisa ditunda 1-2 tahun, tetapi hak guru dan dosen tidak mungkin ditunda, termasuk rekrutmen guru dan dosen untuk mengisi yang sudah pensiun. Kalau ini dibiarkan akan terjadi gap,” kata Agus, Senin (24/2).
Jika kesejahteraan guru dan dosen tidak terpenuhi, dikhawatirkan munculnya sinyal negatif bagi lulusan terbaik yang berkeinginan akan meniti profesi sebagai tenaga pengajar. Bagaimanapun investasi dalam pendidikan adalah kunci bagi pembangunan peradaban dan kemajuan bangsa.
“Tanpa pendidikan, tidak akan ada peradaban. Negara maju sudah berkomitmen untuk berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia,” ujarnya.
Agus juga menyatakan ada kemungkinan pemotongan anggaran berdampak pada bantuan dana beasiswa, termasuk beasiswa KIP Kuliah (KIP-K), beasiswa Daerah 3T, beasiswa ADik dan ADEM. Beasiswa tersebut, disebutnya sebagai instrumen untuk memutus rantai kemiskinan dan memperkecil kesenjangan sosial.
“Apabila anggaran beasiswa dipangkas tentunya semakin mempersulit masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan tinggi,” terangnya.
Meski pemerintah berkomitmen tidak akan menaikkan UKT, namun Agus pun menilai pemangkasan bisa memaksa PTN untuk menaikkan uang kuliah tunggal (UKT). Ia menegaskan jangan sampai pemangkasan anggaran memaksa PTN menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
“Jika intervensi pemerintah berkurang tetapi di sisi lain PTN diminta untuk tetap memenuhi kebutuhan dosen dan tenaga kependidikan, maka ini bisa menjadi dilema yang memicu gejolak di kampus,” imbuhnya.
Dalam pandangannya pemerintah wajib mengalokasikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD untuk menjalankan fungsi pendidikan. Hal ini sesuai amanat dalam UUD 1945.
Hal lain harus diperhatian, kata Agus, soal potensi kebocoran dalam implementasi anggaran pendidikan, seperti penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tidak selalu tepat sasaran.
Ia sangat berharap pemangkasan harus dilakukan secara selektif. Dalam pandangan idealnya, pengurangan anggaran sebaiknya menyasar pada program yang bersifat administratif. Pengurangan pada program-program yang tidak berdampak langsung pada mutu pendidikan seperti pengurangan anggaran untuk perjalanan dinas, studi banding, seminar dan sebagainya. (Tio)