Bantul, Kabar Jogja – Keraton Ngayogyakarta hari ini, Kamis (30/1) menggelar rutinitas tahunan labuhan yang dilaksanakan setiap bulan ruwah atau menjelang datangnya bulan puasa Ramadhan.
Selain di Gunung Merapi dan Gunung Lawu, labuhan di hari yang sama juga digelar di Pantai Parangkusumo, Bantul.
Sebelum dilabuh ke laut selatan, 30 ubarampe yang berupa Semekan Gadhung Melati, Semekan Banguntulak, Semekan dringin, Kenaka Dalem, Rikma Dalem, ada Dhestar, juga ada celana panjang dan celana pendek, Lisah Konyoh, hingga Yatra Tindhih didoakan bersama.
Pemimpin upacara labuhan, Carik Kawedanan Perintah Hageng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Wijoyo Pamungkas acara tahunan ini merupakan labuhan penutup rangkaian peringatan 36 tahun Tingalan Jumenengan Dalem (Ulang Tahun Kenaikan Takhta) Sri Sultan Hamengku Buwono X.
“Setiap tahunnya dilaksanakan di tiga tempat yaitu labuhan samudra dan dua pegunungan,” jelasnya.
Alasan pantai Parangkusumo menjadi lokasi labuhan Keraton Yogyakarta, dikarenakan di sinilah terjadi pertemuan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Labuhan berasal dari kata labuh yang berarti membuang, meletakkan atau menghanyutkan. Labuhan memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai upaya panyuwunan (permohonan), atur panuwun (ucapan terima kasih), napak tilas (mengenang kembali), dan memayu hayuning bawana (memperindah dunia).
Dia mengatakan dari sisi makna, ini juga sebuah Hajad Dalem Labuhan yang kalau berbicara dari sisi kata, kalimat, labuhan itu melabuh yang membuang atau menghanyutkan yang ada nilai sejarahnya.
"Di dalam Hajad Dalem ini memang merupakan suatu bentuk keikhlasan seorang raja terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena istilahnya untuk membuang tadi itu yang dibuang bukan ke sembarang membuang di tempat tapi (tempatnya) sudah ditentukkan," ucapnya.
Namun nilai paling penting dari tradisi ini adalah agar generasi muda yang masih tertutup jiwanya mengintropeksi diri bahwa Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya itu tidak semata mata berdiri, tapi semua ada perjuangan.
Ini merupakan upaya berkesinambungan melestarikan budaya dan sejarah berdirinya Yogyakarta.
Wakil Abdi Dalem Juru Kunci di Pemancingan Parangkusumo-Parangtritis, Surakso Trirejo mengatakan kegiatan ini merupakan hajatan membuang, menghanyutkan, menempatkan sesuatu di suatu tempat yang tempat itu ada nilai sejarahnya terkait dengan berdirinya Keraton Ngayogyakarta.
"Ini suatu bentuk keikhlasan seorang raja terhadap rakyat, karena membuang itu bukan hanya sekedar membuang, tapi ada tujuannya, dan ini disesuaikan dengan sejarah berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat," katanya. (Set)