Yogyakarta, Kabar Jogja - Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang kini resmi menjadi RUU Inisiatif DPR pada 11 Juli 2022, mengakomodasi hak suami untuk mengambil cuti terkait pendampingan istri yang melahirkan.
Kepala Pusat Studi Gender Universits Islam Indonesia (UII) Trias Setiawati, menyatakan, hak suami cuci untuk mendampingi istri tercantum di dalam Pasal 6 ayat (2). ‘Suami berhak mendapatkan cuti paling lama 40 hari untuk pendampingan (istri) melahirkan atau cuti 7 hari untuk pendampingan (istri) keguguran’.
“Ini suatu gagasan baru soal pengaturan cuti suami dalam RUU KIA, dan menarik untuk didiskusikan secara mendalam,” kata dia pada saat presentasi dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Fakulas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada Rabu (14/12).
Sekretaris Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil DI Yogyakarta itu menyatakan, rancangan peraturan hak cuti suami itu, bahkan, dilengkapi dengan usulan bahwa cuti suami bisa diperpanjang secara kondisional.
“Hak cuti bagi suami untuk mendampingi istri melahirkan atau keguguran tersebut diharapkan dapat membantu istri dalam merawat anaknya yang baru lahir.”
Selama ini hak cuti istri melahirkan hanya melekat pada UU Nomor 13/2003 tentang Tenaga Kerja. Masa cuti berlaku selama tiga bulan. Dalam RUU KIA diatur dan ditegaskan kembali hak cuti dimaksud, ditambah dengan hak cuti suami.
Hak cuti melahirkan berlaku dua kali lipat, dari tiga bulan menjadi enam bulan. “Awalnya cuti melahirkan hanya berdurasi tiga bulan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. Kemudian RUU KIA Pasal 4 ayat (2), cuti bagi ibu melahirkan menjadi enam bulan,” kata Trias Setiawati.
Dosen Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi UII menambahkan, terhadap ibu mengalami keguguran kandunganya, RUU KIA mengusulkan hak cuti juga.
“Pada pasal yang sama, disebutkan jika ibu yang bekerja mengalami keguguran, maka dia berhak mendapat waktu istirahat selama satu setengah bulan.”
Latar belakang usulan hak cuti ibu melahirkan dan suami mendampingi istri melahirkan berkaitan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) dan persoalan tingkat stunting yang dialami anak-anak di tanah air.
Menguti data Litbang Kemenkes, Trias Setiawati menyatakan, AKI tahun 2015 sebanyak 305 per 100 ribu kelahiran hidup dan 2021 turun menjadi 300. Pemerintah menargetkan penurunan AKI hingga di angka 183.
Kemudian Litbang Kemenkes, tahun 2016 menyajikan data bahwa prevalensi stunting 27,5% dan tahun 2019 terjadi penurunan sekitar 0,7%/tahun, namun pemerintah masih optimis sesuai target RPJMN 2024 dapat menjadi 14 %,”
“Target penurunan AKI dan stunting memerlukan peran aktif ibu dari anak dan suami sebagai pendamping,” katanya.
Dua pembicara lain dalam forum tersebut yaitu Dr Sri Roviana (Bidang Perempuan Anak Lansia dan Dissabilitas ICMI DIY) dan Riduwan (Ketua Komisi Ekonomi Icmi Diy-Dosen Ekonomi Islam UAD) menyatakan,visi dan tujuan RUU KIA dalam mengatur hak ibu hamil dan suami pendamping bertendensi positif. Itu perlu didukung dengan landasan filosotif yang kuat dalam dasar-dasar pemikirannya
Riduwan menambahkan. RUU KIA perlu disinkronisasi pasal-pasalnya dngan UU Ketenakerjaan agar pasal-pasal yang bersinggungan bisa saling menguatkan. (Tio)