Bantul, Kabar Jogja - Akademisi menilai pemberian pemahaman dan prespektif tentang kebencanaan lewat dunia pendidikan masih kurang. Pemangku pendidikan masih memandang perspektif kesiapsiagaan belum dianggap penting diajarkan sejak dini.
Pandangan ini disampaikan dosen Prodi Ilmu Pemerintah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Sakir Ridho Wijaya saat mendampingi 46 mahasiswanya melakukan praktek pembelajaran lapangan mata kuliah Tata Kelola Bencana di Pantai Cemara Sewu, Bantul, Kamis (14/7).
"Sebagai negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana alam yang besar. Pemberian pemahaman dan pengenalan perspektif materi kebencanaan lewat sektor pendidikan di Indonesia sangat kurang. Termasuk di perguruan tinggi," jelasnya.
Dia mencontohkan, seberapa banyak kampus atau perguruan tinggi yang telah menyediakan jalur evakuasi ketika terjadi bencana alam.
Sebagai upaya menanamkan perspektif kebencanaan, 46 mahasiswa diajak memahami bagaimana melakukan antisipasi, penanganan hingga evaluasi terhadap kebencanaan dari lima peran yaitu pemerintah, akademisi, media, dunia industri dan masyarakat sendiri.
Sakir menegaskan pembelajaran lapangan tentang kebencanaan alam pada mahasiswa akan melahirkan kesadartahuan dan perilaku yang nantinya akan disebarluaskan dalam membangun budaya keselamatan (safety) dan ketangguhan (resillience).
Menurutnya berbagai peluncuran program Desa Tanggap Bencana (Destana) maupun Sekolah Siaga Bencana masih bersifat seremonial saja. Belum dibarengi dengan kesiapan program, lembaga maupun sumber daya manusianya.
“Kenapa ini penting, karena bencana itu bukan hanya urusan geofisika atau geologi saja. Namun lebih mengarah pada pembentukan kelembagaan kesiapsiagaan bencana oleh masyarakat, bukan lagi pada peran pemerintah atau swasta,” kata Direktur International Program of Government Affairs and Administration (IGOV) UMY. (Tio)