Bantul, Kabar Jogja - Selain korupsi dan perjuangan kekuasaan para oligarki, Indonesia saat ini dinilai juga menghadapi Islamophobia. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) meminta masyarakat bersatu memberantas narasi dan aksi yang menyudutkan umat Islam.
Hal inilah yang terpapar dalam seminar nasional dan Rakerwil ICMI Daerah Istimewa Yogyakarta, ‘Meneguhkan Komitmen Kebangsaan, Memberantas Islamophobia’ di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (16/7).
Pakar hukum tata negara Refly Harun dalam paparannya menyebut permasalahan problem utama di Indonesia terkait nasionalisme dan Islam kadang-kadang pasang surut.
“Padahal arus nasionalisme dan arus Islam itu sudah diselesaikan dengan perumusan Pancasila khususnya pada sila pertama,” katanya.
Dalam sudut pandangnya, Refly melihat fenomena mereka yang memberikan narasi tentang Islam adalah yang anti pemerintah. Kemudian saat membicarakan anti-islamophobia maka itu berasal dari orang di luar pemerintahan.
Sedangkan yang di pemerintahan justru dianggap sebagai pelaku, penggagas atau bahkan bagian dari Islamophobia, paling tidak bagian dari pemerintah. Seperti para buzzer dan sebagainya.
“Kalau ada isu tentang Islam yang diributkan, langsung cepat diangkat. Oleh karena itu, kita telah menjalankan bernegara yang tidak sehat,” jelasnya.
Menurutnya, permasalahan tantangan di Indonesia selain islamophobia adalah korupsi dan pejabat yang haus kekuasaan. Islamophobia menjadi motif dari oligarki dan kekuasaan. Oleh karena itu, salah satu bentuk melawan oligarki dan kekuasaan tersebut melalui proses pemilihan ke depan untuk memilih pemimpin negara juga perlu diubah.
“Hal yang terpenting adalah memiliki pemerintah yang mau memerangi korupsi,” paparnya.
Ke depan untuk memberantas islamophobia, Refly mengatakan bangsa dan negara harus kembali kepada asumsi dasar bernegara, yaitu Pancasila dan konstitusi UUD 1945.
Ketua Orwil ICMI DIY Mahfud Sholihin keberadaan islamophobia di Indonesia merupakan ujian dalam politik sektoral karena mendistorsi kebesaran Islam yang dipeluk 231,06 juta atau 86,7% penduduk.
“Yang memprihatinkan Islamophobia di negara ini bukan hanya mengerdilkan penduduk Indonesia yang beragama Islam, juga berpengaruh pada posisi politik Islam Indonesia sebagai negara muslim terbesar pada konteks global dan relasi antar umat manusia,” paparnya.
Mahfud menyatakan di konteks negara demokrasi, politik sektoral seperti Islamophobia tidak layak dikembangkan dan dilestarikan.
Sebagai negara kesatuan, ICMI memandang yang paling elegan di negara ini adalah politik kebangsaan, untuk meneguhkan komitmen persatuan dan kesatuan yang berbasis pada sikap empati dan simpati dalam keragaman. (Tio)