Yogyakarta, Kabar Jogja - Produsen batik dan fesyen batik di Kota Yogyakarta yang terus bergeliat menghasilkan karya. Permintaan kain batik dan produk fesyen batik yang mulai meningkat menjadi angin segar bagi para produsen.
Salah satu produsen batik dan fesyen batik yang terus menggeliat adalah Rumah Batik Jinggar milik Vitalia Pamoengkas (46) di Kampung Nyutran Tamansiswa Kelurahan Wirogunan Yogyakarta.
Diakui Vita di awal masa pandemi Covid-19 produknya juga terdampak. Namun dia bersama beberapa perajin batik dan karyawannya tetap berusaha berkarya. Kini semangatnya terbayar dengan permintaan batik yang mulai meningkat.
“Kalau sekarang sudah mulai agak meningkat dibandingkan tahun kemarin. Orderan sudah masuk. Kebanyakan seragam kantor- kantor dan lewat media sosial,” kata dia, dikutip dari situs resmi Pemkot Yogyakarta.
Vita menuturkan di awal masa pandemi Covid-19, ia tetap memproduksi batik, tapi tidak sebanyak seperti sebelum pandemi. Untuk menyiasati pesanan fesyen batik yang terdampak pandemi, dia memproduksi masker kain dan alat pelindung diri (APD). Mengingat masker dan APD banyak dibutuhkan di awal pandemi Covid-19.
“Di awal pandemi kami otomatis terdampak. Semua saya rasa terdampak. Kami menyiasatinya dengan memproduksi masker dan APD,” ujarnya.
Usaha Rumah Batik Jinggar yang berdiri tahun 2010 itu memproduksi batik kontemporer, klasik, cap dan batik tulis. Batik- batik itu menggunakan pewarna kimia dan ada yang memakai warna alam. Batik yang dihasilkan adalah motif klasik Yogya. Hal yang membedakan adalah motif batik tidak memenuhi seluruh kain.
“Motif batik kami berbeda dengan yang lain. Ketika orang lain full motif, tapi kami motifnya hanya di beberapa tempat saja. Jadi itu yang menjadi ciri khas kami. Ada beberapa motif yang sudah kami hak ciptakan,” terang Vitalia.
Sebagai fesyen desainer, Vita tidak hanya memproduksi kain batik. Tapi juga mendesain kain batik menjadi berbagai fesyen seperti kemeja, blus, rok dan seragam kantor permintaan dari berbagai kantor instansi pemerintah maupun swasta seperti perguruan tinggi. Dia juga mengikuti berbagai kegiatan fesyen show yang menampilkan karyanya.
“Kami memproduksi batik dari kain putihan, lalu kami desain,” imbuhnya.
Untuk memproduksi batik dia mempekerjakan sekitar 5 orang. Dia membebaskan para pekerjanya terutama ibu- ibu dalam membuat batik bisa dikerjakan di rumah masing- masing maupun di tempatnya.
Khusus untuk proses pewarnaan batik dengan warna kimia, Vita menyampaikan dilakukan di rumah salah satu karyawannya yang bisa menampung limbah.
Vita menyebut dalam seminggu mampu memproduksi sekitar 50 kain untuk batik cap. Sedangkan produksi batik tulis sekitar 2-3 kain dalam seminggu. Harga satu kain batik cap sekitar Rp 300 ribu batik tulis berkisar Rp 700 ribu sampai Rp 2 juta tergantung kerumitan motif dan lainnya.
Produk batik dan fesyen batik milik Vita sudah terjual di pasaran lokal Indonesia hingga luar negeri seperti Malaysia dan Dubai.
Pemasaran batik salah satunya dilakukan melalui media sosial seperti facebook, Instagram dan Youtube. Oleh karena itu Vita mengajak para pelaku produsen batik untuk memanfaatkan media sosial guna memasarkan produk semakin luas.
“Saya harap para perajin batik tetap semangat dan berkarya. Walaupun pandemi tapi tidak menurunkan semangat untuk berkreasi lebih baik lagi,” pungkas Vita. (rls)