Yogyakarta, Kabar Jogja – Lewat buku berjudul ‘Pembaruan Islam Yudian Wahyudi: Komparasi dengan Hasbi Ash Shiddiey, Hazairin, Nurcholish Majid, dan Quraish Shihab, ‘ penulis Khoirul Anam memperkenalkan pemikiran Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi.
Dalam bedah buku yang berlangsung Kamis (16/12) di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta. Anam Yudian menawarkan bagaimana metode hukum Islam diadaptasi di dalam sistem dan bagaimana penggunaan metode tersebut berdampak praktis pada konstruksi pemikiran muslim tentang kenegaraan dan kesejahteraan bangsa.
“Pengalaman kolonialisme hingga kehidupan sosial politik kontemporer menimbulkan kekayaan pemikiran yang dinamis tentang relasi antara negara, pembentukan hukum, dan teologi,” katanya.
Melalui pemikiran ini, Yudian menggunakan metode hukum Islam yang berorientasi praktis-aplikatif pada kemaslahatan (maqasid shariah) dan kemitraan yang dinamis antara hukum Islam, hukum Indonesia dan unsur kebudayaan lokal (urf) menjadi bahan penting untuk meramu jiwa kebangsaan dan kemajuan Umat Islam di Indonesia.
Anam mengatakan gagaran inilah yang menjadi ciri Yudian dalam pembaruan Islam. Kekhasan ini terutama terlihat bila dibandingkan dengan para pendahulu pemikir Islam di Indonesia seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqi, Nurcholis Majid dan Quraish Shihab.
Anam memastikan buku 'Pembaruan Islam Yudian Wahyudi' merupakan pertama yang lengkap dalam mengumpulkan tulisan dan pidato Yudian di berbagai kegiatan ilmiah.
Padahal di era disrupsi sekarang kita membutuhkan pemikir yang memiliki pendekatan radikal dan progresif, agar Fiqh diadopsi oleh orang Indonesia secara dinamis dengan dibarengi oleh tradisi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Indonesia.
"Saya membaca setelah zaman Khakifah Al Makmun dengan Baitul Hikmahnya, gerakan Islam cenderung surut hingga sekarang. Sampai akhirnya kita bertemu dengan pemikiran Prof. Yudian yang cenderung empirik dan aplikatif", tegasnya.
Baginya, di luar sepak terjangnya sebagai pemikir, Yudian memiliki jejak organisatoris yang kuat. Di antaranya menjadi Rektor Indonesia pertama yang menjadi Presiden Asian Islamic Universities Association (AIUA). Sebagai Presiden AIUA, Yudian memiliki pesan kuat yang berlapis-lapis. Ini tidak hanya membuktikan pengakuan Asia kepada perguruan tinggi di Indonesia, tetapi juga pengakuan tokoh sekaligus pejabat pendidikan Asia.
Yudian kelihatan paling menonjol karena tidak hanya mendapatkan gelar profesor dari dalam negeri, tetapi juga mendapatkan gelar Profesor dari American Association of University Professors (2005-2006) di Amerika.
Dalam sambutan pembukanya, Yudian yang pernah mengajar di Harvard Law School, menyebutkan para pendahulu pemikiran Islam Indonesia memiliki kelebihan masing-masing.
“ Hazairin mengkritisi pendekatan teori receptie yang didesain oleh kepentingan kolonial untuk mencegah munculnya kekuatan Islam. Hasbi Assiddiqi berperan penting dalam memperkenalkan fikih Indonesia yang terbuka pada kebudayaan lokal (urf) sebagai sumber hukum. Sedangkan Nurcholis Majid menawarkan sekularisasi pemikiran,” katanya.
Sebagai upaya memperkuat pemikiran keislaman, Yudian menggabungkan kelebihan-kelebihan pemikir sebelumnya dengan keunggulannya memberikan penafsiran ayat Al-Quran kontemporer yang aplikatif dan adaptif terhadap kebutuhan zaman. (Tio)