Sleman, Kabar Jogja - Lela Susilawati, S.Pd., M. Si., berhasil meraih gelar Ph.D., (S3) dari Biological Production Science Department, Tokyo University of Agriculture and Technology, Japan. Lela Susilawati merupakan penerima beasiswa program 5.000 Doktor Kementerian Agama RI. Lela Susilawati berhasil menyelesaikan studi S3 dan riset disertasinya dalam waktu 3,5 tahun sejak keberangkatannya ke Jepang Oktober 2017 hingga Januari 2021.
Kepada humas, usai ujian promosi
Doktor, di kampus Tokyo University of Agriculture and Technology, Japan, 19/1/2021, Lela susilawati menuturkan via WhatsApp, karya riset disertasinya berjudul “Antifungal And Biocontrol Activities Of Bacteria Isolated From Japanese Flog skin Against Plant Pathogenic Fungi,” diselesaikan atas bimbingan Prof. Tsutomu, Arie. Dan berhasil dipertahankan di hadapan para Profesor tim penguji.di kampus tersebut.
Melalui karya riset disertasinya ini, Lela antara lain berhasil mengungkap bahwa; Setiap makhluk hidup tidak bisa lepas untuk melakukan asosiasi dengan komunitas mikroorganisme lainnya. Seperti pada kulit katak yang ia teliti. Kulit katak berasosiasi dengan komunitas mikroba khusunya bakteri.
Komunitas bakteri ini sangat penting keberadaanya pada kulit katak karena dapat melindungi katak dari predasi dan pathogen (baik fungi, virus, bakteri). Kulit katak menyediakan nutrisi untuk bakteri hidup. Komunitas bakteri tersebut menstimulasi produksi senyawa bioactive dengan banyak fungsi misal antifungi, antibakteri, antioksidan dan sebagainya.
Menurut Lela, seperti halnya Indonesia, Jepang memiliki native spesies katak, hanya saja diversitasnya tidak sebanyak di Indonesia. Hyla japonica (Japanese tree frog), Pelophylax porosus porosus (Tokyo daruma pond frog) dan Buergeri buergeri (Kajika frog) adalah tiga contoh spesies katak native di Jepang.
Dari ketiganya ini, Lela berhasil mengisolasi 106 bakteri dan setelah di lakukan analisis molecular 16S rDNA di Plant Pathology Lab, Tokyo University of Agriculture and Technology, Japan, Lela menemukan bahwa pylum Proteobakteria memiliki proporsi tertinggi. Sementara, dari 106 bakteri tersebut, tiga diantaranya, Paenibacillus sp. HjD57, Raoultella sp. HjD92 dan Citrobacter sp. B341, menunjukkan kemampuan aktifitas antifungi tinggi dan mampu mengontrol penyakit tanaman yang di sebabkan fungi pathogen, Colleotrichum orbiculare, penyebab antraknosa pada tanamna Cucurbitaceae, Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici, penyebab penyakit wilting pada tomat dan F. fujikuroi, penyebab penyakit “bakanae” pada padi. Salah satu kemungkinan mekanisme yang terjadi adalah antibiosis, yaitu adanya substansi antifungi yang di produksi bakteri, jelas Lela.
Lebih jauh Lela menjelaskan, di Jepang, pengembangan penelitian di bidang plant pathology yang menjadi fokus riset disertasi Lela sudah sangat advance. Sudah banyak profesor bidang plant pathologi di negara sakura ini memiliki paten.
Dan yang paling penting para Profesor di sana memiliki dedikasi dan komitmen yang tinggi dalam melakukan penelitian dan memberikan solusi pada permasalahan konkrit di lapangan. Fokus sekali dalam melakukan riset dan mendalam. Sehingga bisa tuntas dalam memberikan rekomendasi kepada petani di lapangan.
Hasil-hasil riset dapat langsung di manfaatkan masyarakat. Sehingga kolaborasi masyarakat akademik (Lab) dan non-masyarakat akademi (Petani/Perusahaan) sangat erat. “Seringkali ada banyak kiriman sampel hasil pertanian ke lab dimana saya melakukan uji laboratorium. buah2an dan sayuran, missal; kentang, ubi dan lain lain. Ini menunjukkan adanya kolaborasi yang baik antara laboratorium (akademisi) dengan masyarakat (Petani/perusahaan). Betapa eratnya kolaborasi antara kami peneliti dan masyarakat. Itu saya alami selama studi di Jepang,” kata Lela. “Kondisi seperti ini lah yang jadi impian saya dimana hasil riset kita berimbas nyata dan hasilnya bisa dinikmati masyarakat, imbul Lela.
Oleh karena itu dari hasil penelitiannya; dimana dapat diungkap bahwa, bakteri dari katak Jepang ini punya kemampuan menghasilkan senyawa bioaktif yang bisa kendalikan beberapa penyakit pada tanaman.
Ke depan ia berharap dapat melakukan berbagai kolaborasi akademik dengan para mahasiswanya yang sudah menunggu di kampus UIN Sunan Kalijaga, untuk mengembangkan barbagai uji laboratorium, melakukan identifikasi senyawa bioaktif yang lebih mendalam sehingga dapat menghasilkan ekstraksi/formula yang berguna dalam mengatasi berbagai permasalahan bidang pertanian, ataupun bidang yang lain.
Bukan itu saja. Menurut Lela, hasil analisis risetnya juga menunjukkan bahwa, bakteri juga bisa di kembangkan dan di komersilkan skala besar sebagai alternatif agensia biofungisida alami. Di universitas saya sendiri di Jepang, ada bakteri Bacillus sp. strain TUAT mendapatkan paten sebagai agensia biofungisida dan sudah di komersilkan. Bakteri tersebut di isolasi dari tanah. “Nah pada riset saya, bakteri dari kulit katak juga punya potensi besar untuk di kembangkan jadi ada kemungkinan untuk juga di kembangkan ke skala market.
Untuk bidang medis misalnya, bisa di kembangkan sebagai antioxidant, probiotik. Tidak menutup kemungkinan bidang yang lain misal lingkungan sebagai biodegradator polutan dan sebagainya. Oleh karena itu perlu kajian mendalam tentang bakteri dan senyawa bioaktif yang di hasilkannya. Serta mempelajari kemungkinan adanya mekanisme lain yang menjadikan potensi bakterinya lebih efektif.
Sementara itu dalam upaya mengembangkan riset-riset di Fakultas saintek UIN Suka, sepulang dari studinya di Jepang, Lela bertekat akan maksimalkan fasilitas laboratorium yang bisa mensupport pemgembangan risetnya. “Konkritnya, nanti saya akan internalisasikan riset-riset saya selama studi di Jepang yang topiknya tidak hanya bakteri pada kulit katak, tapi topik lain misal virus, pada rencana mengajar saya.”
“Untuk riset: skala kecil saya ingin membuat database diveristas genetik mikroba pada kulit katak pada spesies native Indonesia (di wilayah DIY dulu) selanjutnya di skrining potensinya untuk bidang pertanian, medis, lingkungan dan lain-lain. Skala besarnya, berkolaborasi dengan peneliti yang relevan dan melakukan riset bersama misal melakukan rearing katak di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga Indonesia memiliki database genetic tentang mikroba pada katak. Kolaborasinya sangat terbuka dengan saintis internasional.”
Untuk pengabadian masyarakat: konkritnya, mendapatkan informasi tentang adanya masalah pada tanaman komoditas yang di tanam petani, lalu melakukan deteksi pathogen. Untuk solusi, perlu ada kajian mendalam sebelum merekomendasi cara mengatasinya. Sehingga ada kemungkinan pengabdiannya berkelanjutan dan kolaborasi dengan masyarakat setempat, demikian harap putra kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat ini bersemangat.(rls)