Yogyakarta – Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
berinisiatif mengalihkan alokasi anggaran bantuan sosial (bansos) untuk program
recovery atau pemulihan akibat dampak pandemi Covid-19. Untuk mendongkrak
pertumbuhan ekonomi yang sudah minus.
Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana mengatakan pertumbuhan
ekonomi di DIY saat ini sudah minus karena destinasi wisata ditutup dan sistem
perkuliahan yang diganti melalui digital.
“Tidak ada wisatawan yang datang dan mahasiswa. UMKM (Usaha
Mikro Kecil Menengah) saat ini juga off, proyek besar tidak ada,” katanya dalam
diskusi yang digelar di PD Taru Martani, Kota Yogyakarta pada Sabtu (11/7).
Menurut Huda, pedapatan daerah berkurang sekitar 30 sampai
40 persen. Kondisi ini pun diperkirakan masih terjadi pada 2021 mendatang.
Untuk itu perlu ada suatu program yang konkret dalam menumbuhkan perekonomian.
Huda mengatakan alokasi dana bansos sekitar Rp204 miliar
untuk 110 ribu Kepala Keluarga (KK). Saat ini sudah tersalurkan kisaran Rp179
miliar. “Tapi ada yang dikembalikan, jadi yang tersalurkan sekitar Rp150
miliar,” kata Huda.
Huda mengatakan pihaknya pun saat ini sedang melakukan studi
identifikasi masyarakat dalam peran serta mengatasi masa pandemi Covid-19. Hasilnya
diketahui ada rasa gotong royong yang besar di tingkat warga.
Misalnya ketika awal Corona merebak di Indonesia, masyarakat
di kampung berinisiatif membatasi orang luar masuk ke wilayah mereka.
Menjadikannya relatif lebih aman dari potensi penyebaran virus.
Kemudian juga ada inisiatif warga membuat cantelan-cantelan
bahan makanan untuk mereka yang kurang mampu. Termasuk kebutuhan Alat Pelindung
Diri (APD) rumah sakit rujukan di DIY juga sebagian besar merupakan bantuan
dari masyarakat.
“Jadi perlu ada modifikasi bantuan sosial, supaya bisa
menumbuhkan rasa sosial di masyarakat. Jadi dialokasikan untuk program yang
sifatnya recovery ekonomi,” katanya.
Peneliti dari Lembaga Penkajian Kebijakan Publik (LPKP),
Ardiyanto menambahkan dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat di DIY saat ini
lebih berat dibandingkan situasi bencana yang pernah dialami seperti gempa 2006
dan erupsi Merapi 2010 lalu.
Sebab bencana gempa dan erupsi Merapi itu berdampak di
wilayah dan waktunya pun tertentu. Sehingga bisa segera teratasi. “Namun
pandemi ini berdampak pada masyarakat yang lebih luas, dan belum diketahui
kapan berakhirnya. Karena setiap hari ada rekor baru (penambahan kasus) yang
dipecahkan,” katanya.
Masyarakat di DIY, menurut Ardiyanto ketika menghadapi
bencana memiliki kohesivitas yang kuat. Bahkan paling tinggi dibandingkan
provinsi lain di Indonesia. Terbukti seperti saat terjadi bencana gempa dan
erupsi Merapi.
“Waktu gempa bumi ada janji pemerintah memberikan dana bantuan
sekitar 40 atau 50 juta, tapi akhirnya hanya terealisasi sekitar 20 juta kalau
tidak salah. Pada saat itu tidak membuat masyarakat menunggu bantuan. Tetapi
yang terjadi adalah gotong royong masyarakat untuk membangun rumah yang
terdampak gempa,” katanya.
Ardiyanto berkata dengan adanya gotong royong dari
masyarakat ini pun menjadi ringan dalam menghadapi dampak bencana. “Ya harus
mengajak partisipasi masyarakat. Kami lihat sejauh ini memang belum ada
keseriusan dari Pemda untuk kemudian mengatakan gerakan di masyarakat,”
ucapnya.(dho)