Yogyakarta - Pemerintah telah menyiapkan bantuan sosial
kepada rakyat Indonesia yang terdampak Covid-19. Bantuan yang disalurkan baik
berupa uang maupun paket sembako telah tersebar ke seluruh wilayah Indonesia,
utamanya di wilayah episentrum Covid-19 yakni Jabodetabek.
Akan tetapi, penyaluran bansos ini tidak semuanya berjalan
mulus. Beberapa masyarakat dari berbagai daerah mengeluh tidak menerima bantuan
padahal pihaknya mereka turut terdampak.
Banyak kritikan telah disampaikan kepada pemerintah terkait
pendistribusian bansos ini. Hempri Suyatna, dosen Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan Fisipol UGM, menyebut akar
masalah dari permasalahan tersebut berada pada validasi data. Dari hasil pengamatannya
kebanyakan pendataan masih salah sasaran.
“Di tingkat daerah proses pendataan masih belum valid.
Banyak diantaranya masih salah sasaran.
Misalnya, warga meninggal masih terdata, penduduk yang tidak memiliki NIK
terdata, warga mampu terdata, dan sebagainya. Tak ayal jika banyak warga yang
protes karena tidak kebagian bantuan padahal memang dalam kondisi yang sulit,”
terangnya, Jumat (15/5).
Selain itu, Hempri menyebut alur birokrasi juga menjadi
masalah tersendiri dalam pendistribusian bansos ini. Menurutnya, sinkronisasi
antar stakeholder masih lemah. “Berbagai kementrian bergerak masing-masing
dalam situasi ini. Beberapa program bantuan yang diberikan pemerintah, seperti
Kartu Pra Kerja, BLT, Jaminan hidup, serta program alokasi desa ditanggung oleh
induk kementrian yang berbeda-beda. Belum lagi ada bantuan sembako langsung
dari Presiden. Ini baru dari pemerintah, belum termasuk bantuan dari
stakeholder lain, seperti komunitas, partai politik, organisasi sosial
keagamaan, serta perusahaan,” paparnya.
Akibatnya tumpang
tindih tadi menyebabkan banyak terjadinya kasus satu orang menerima hampir
semua bantuan tersebut, sementara yang lain bahkan tidak menerima sama sekali.
Hal yang lebih ironis di beberapa daerah bahkan terjadi politisasi dari bansos
ini.
“Muncul aktor-aktor ekonomi dan politik yang ingin
memperoleh keuntungan dari program-program tersebut. Banyak bantuan sosial
bersumber dari anggaran pemerintah tapi ditempeli jargon-jargon kepala daerah,”
ungkapnya.
Hempri menyampaikan masukannya terkait hal-hal yang perlu
diperbaiki atau dilakukan menyikapi permasalahan bansos ini. Pertama, terkait
pendataan, ia menyarankan dilaksanakannya validasi serta pembaruan data lagi
dengan mempertimbangkan indikator warga yang benar-benar terdampak Covid-19.
Hempri berharap adanya perbaikan tata kelola dan pengawasan
program-program dari pemerintah tadi.
Jika ada program yang tidak efektif
maka lebih baik dananya dialokasikan untuk yang lain. Sebagai contoh, ia
merujuk kartu pra prakerja yang beberapa program pelatihannya tidak efektif,
seperti pelatihan memancing dan pelatihan menjadi youtuber pemula. “Lebih baik
dana Rp5,6 triliun dari program itu
disalurkan untuk ke program bansos melihat banyak warga terdampak yang belum
menerima bantuan,” ujarnya.
Terakhir, Hempri mengajak masyarakat untuk mengawasi bersama
pelaksanaan distribusi bansos. Hal itu untuk menghidari adanya politisasi bansos
dan kasus salah sasaran seperti yang dijelaskan sebelumnya. “Beberapa contoh
positif, ada warga yang dengan sadar mengembalikan dana BLT karena merasa tidak
tepat untuk menerimanya. Kesadaran semacam itu patut diapresiasi dan diteladani
kita dalam kondisi seperti ini,” pungkasnya.(rls)