Meski pembatasan aktivitas di tempat umum yang telah
diterapkan selama dua minggu terakhir dirasa bermanfaat untuk mengendalikan
penyebaran Covid-19 di sejumlah daerah yang terdampak, menurut Koordinator tim
respons COVID-19 UGM, Riris Andono Ahmad karantina wilayah perlu diterapkan di
daerah yang telah ditetapkan sebagai zona merah.
“Moderate social distancing saat ini masih penting untuk
dilakukan di banyak tempat di Indonesia, kecuali yang sudah zona merah. Di
wilayah tersebut, karantina wilayah bisa dicoba untuk dilakukan,” katanya dalam
keterangan tertulis Selasa (31/3).
Riris memaparkan, ada dua jenis social distancing, yaitu
moderate social distancing berupa penutupan sejumlah fasilitas umum dan
melakukan aktivitas di rumah, dan maximum social distancing atau karantina wilayah.
Pada kondisi karantina wilayah, hanya mobilitas logistik yang diperbolehkan.
“Ini penting, karena seperti yang kita ketahui fokus kita
adalah mencoba menurunkan puncak outbreak atau flattening the curve,” imbuhnya.
Dalam jumpa pers yang berlangsung secara daring, Senin
(30/3), ia memaparkan beberapa skenario penyebaran Covid-19 beserta beragam
skenario intervensi. Tanpa adanya intevensi, durasi outbreak di suatu wilayah
pandemi diperkirakan mencapai 32 hari, dengan puncaknya terjadi pada hari ke-14.
Jika moderate social distancing diterapkan sejak awal
kemunculan outbreak, dampak yang ditimbulkan sebenarnya bisa cukup besar dan
mampu menurunkan kurva secara signifikan. Dengan asumsi kapasitas deteksi
sebesar 5%, skenario yang ia tampilkan menunjukkan bahwa reduksi kasus bisa
mencapai 70%, meski dengan durasi outbreak yang lebih lama dan puncak outbreak
baru terjadi pada hari ke-16.
“Kami mencoba memodelkan, kalau ada intervensi yang paling
memungkinkan adalah social distancing. Di Indonesia sendiri, sejak kemunculan
kasus pertama hingga muncul kebijakan social distancing ada delay sekitar 2
minggu,” paparnya.
Keterlambatan penerapan social distance, terangnya, memang
bisa mereduksi kasus, namun jumlahnya relatif kecil yaitu sekitar 18%, dengan
durasi outbreak selama 50 hari.
Di samping merekomendasikan penerapan kebijakan maximum
social distancing atau karantina wilayah di daerah zona merah, pemerintah
menurutnya juga perlu meningkatkan kapasitas skrining dan diagnosis minimal 10
kali lebih besar dari yang tersedia saat ini, serta meningkatkan kapasitas
layanan kesehatan.
Dengan penerapan karantina wilayah dan kapasitas deteksi
sebesar 50%, reduksi kasus bisa mencapai 77% dengan durasi outbreak selama 22
hari.
Peningkatan layanan ini di antaranya meliputi pembangunan
fasilitas isolasi atau karantina non rumah sakit untuk memisahkan pasien yang
tidak membutuhkan perawatan.
“Sebagian kasus tidak perlu layanan di rumah sakit, tapi
harus diisolasi agar tidak menularkan. Perlu ada tempat karantina untuk
memisahkan mereka dari masyarakat umum,” ungkapnya.
Selain itu, diperlukan juga peningkatan kapasitas rumah
sakit untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien yang memerlukan perawatan
intensif, dan memastikan kecukupan alat pelindung diri bagi tenaga medis.
“Ini yang paling urgen. Seperti yang kita tahu saat ini
banyak isu terkait keterbatasan APD bagi para petugas medis,” ungkapnya.(dho/sip)