Yogyakarta - Untuk mencegah penyebaran Covid-19, masyarakat
beberapa desa mengambil inisiatif untuk melakukan lockdown dan membatasi
aktivitas keluar masuk wilayah mereka.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator tim respons COVID-19
UGM, dr. Riris Andono Ahmad, MPH, PhD, menyebutkan bahwa hal itu sebenarnya
tidak perlu dilakukan.
“Ada beberapa hal yang tidak perlu, misalnya penyemprotan
disinfektan di lingkungan, disinfektan tubuh, membuat posko lockdown dan
kumpul-kumpul untuk menjada posko itu tidak perlu, bahkan berisiko karena
akhirnya orang berkumpul. Tujuannya memang baik, tapi karena improvisasi
sendiri bisa justru meningkatkan risiko,” jelasnya.
Masyarakat menurutnya terlalu mudah menggunakan kata
lockdown sehingga justru menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
Lockdown yang dilakukan sendiri oleh masyarakat dengan mendirikan posko yang
dijaga oleh sejumlah orang justru menimbulkan risiko tersendiri karena menjadi
lokasi berkumpul.
“Lockdown sendiri-sendiri juga bisa meningkatkan kecurigaan
terhadap orang yang tidak dikenal, dan bila tidak hati-hati bisa meningkatkan
terjadinya kekerasan sosial. Ini perlu diwaspadai karena jika sering terjadi
situasi menjadi tidak kondusif,” imbuh Riris.
Selain itu, ia juga meluruskan pandangan terkait
penyemprotan disinfektan yang banyak dilakukan di kawasan permukiman.
Penyemprotan disinfektan, jelasnya, dilakukan pada benda-benda yang digunakan
oleh banyak orang, tetapi tidak perlu dilakukan di jalanan atau tempat-tempat
terbuka.
“Perlu disinfektan, tapi tidak sampai di jalan atau di
tempat terbuka,” ucapnya.
Ia menyayangkan banyak orang justru lebih percaya pada
informasi yang beredar di media sosial dibandingkan informasi dari media
edukasi resmi seperti dari Kementerian Kesehatan ataupun BPBD. Masyarakat,
menurutnya, perlu diberi edukasi agar dapat memahami langkah pencegahan yang
benar.
Social distancing, ujarnya, tetap menjadi cara yang efektif
untuk mencegah penyebaran Covid-19, di samping menjaga kebersihan dengan cuci
tangan secara rutin, karena sebagian besar transmisi terjadi melalui tangan.
“Sampai saat ini yang masih menjadi dasar untuk melakukan
pencegahan adalah social distancing, kebersihan tangan, etiket batuk, dan
jauhkan diri dari keramaian. Ini masih tetap berlaku sama, baik kemarin,
sekarang, ataupun besok.
Kalau itu bisa kita
suarakan terus menerus maka masyarakat bisa diedukasi agar tidak lakukan
berbagai macam hal,” kata Riris.
Dalam kesempatan yang sama, ia memberikan paparan terkait
skenario penyebaran Covid-19 beserta beragam skenario intervensi. Outbreak
Covid-19 di Indonesia, terangnya, tidak terjadi pada saat yang bersamaan,
tetapi bisa secara bergantian.
Karena itu, puncak
outbreak pun bisa berbeda-beda di setiap wilayah.
Agar penanganan Covid-19 bisa dijalankan dengan efektif,
menurutnya pemerintah perlu menjaga agar tidak muncul kasus di daerah-daerah
yang belum mengalami outbreak karena ada perpindahan orang-orang dari wilayah
yang sudah terjadi outbreak.
“Paling banyak di Jakarta dan beberapa kita lain, sehingga
yang jadi masalah adalah di banyak daerah yang belum terjadi outbreak. Karena
itu kebijakan tidak ada mudik perlu diberlakukan,” ungkapnya.(rid)