Sleman - Masyarakat Yogyakarta kembali diresahkan dengan aksi sekelompok anak muda yang melakukan penyerangan terhadap individu dan perusakan tempat umum. Di samping memakan korban nyawa, tindakan yang sering disebut sebagai aksi klitih ini juga menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat.
Sosiolog kriminalitas UGM, Suprapto, menuturkan bahwa ada persoalan yang mengkhawatirkan di balik aksi yang dilakukan anak-anak remaja ini. Untuk itu, penanganan klitih tidak bisa dibebankan pada pemerintah atau kepolisian, karena upaya untuk memutus rentetan peristiwa ini harus dimulai dari tingkat keluarga dan komunitas.
“Penanganan perilaku klitih jangan dibebankan hanya pada pemerintah atau kepolisian. Tiap anggota masyarakat harus merasa bertanggung jawab untuk itu,” ucapnya.
Ia menjelaskan, istilah klitih sendiri telah mengalami pergeseran makna. Berdasarkan pengertiannya, klitih memiliki makna kegiatan mengisi waktu luang. Maka kata ini sebenarnya dapat diartikan secara positif sebagai berbagai macam kegiatan yang positif pula.
Namun, makna tersebut kemudian mengalami pergeseran ketika diadopsi oleh para remaja sebagai kegiatan mencari musuh.
“Itu artinya positif. Tetapi ketika klitih itu kemudian diadopsi oleh anak remaja, mereka menggeser makna itu, pertamanya keliling-keliling kota naik sepeda motor. Tetapi tidak sekadar keliling-keliling kota, lebih dimaknai sebagai kegiatan mencari musuh,” jelasnya.
Motif di balik aksi ini sendiri menurutnya cukup beragam. Sebelumnya, aksi ini dikaitkan dengan upaya untuk melakukan balas dendam. Namun aksi klitih saat ini dilakukan seorang remaja untuk mencari musuh dan menunjukkan eksistensi atau untuk melampiaskan kekecewaan dalam kehidupan mereka.
Ia juga mengungkapkan bahwa ada indikasi aksi ini sengaja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan akhirnya mendiskreditkan Jogja.
Ia menyebut bahwa lembaga sosial dasar, utamanya keluarga dan sekolah, perlu turut berpartisipasi mencegah perilaku klitih. Jika keluarga memenuhi fungsi sosialisasi budaya, nilai, dan norma serta fungsi perlindungan, maka anak-anak ketika mendapatkan perlakuan tidak nyaman dari pihak lain akan datang pertama kali kepada keluarga.
“Keluarga adalah benteng yang kuat dan awal. Kalau anak sudah mendapat masukan norma dan nilai, saya kira dia tidak akan mudah untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyakiti orang lain,” kata Suprapto.
Orang tua menurutnya perlu memperhatikan pergaulan dari anak-anak mereka, karena seorang anak yang tidak dibekali dengan pengertian yang benar akan sangat mudah mengikuti perilaku orang yang ia kagumi atau kelompoknya.
Di samping itu, orang tua juga perlu memperhatikan keberadaan anaknya serta aktivitas yang mereka lakukan, untuk memastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam aktivitas yang negatif.
“Peristiwa klitih kan biasanya terjadi pada dini hari. Kalau keluarga mencermati bahwa anak-anaknya tidak ada di rumah pada jam-jam tertentu, pantaulah, dan diajak pulang,” imbuhnya.
Di samping keluarga, lembaga pendidikan juga memegang peranan yang tidak kalah penting. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah menurutnya bisa memberikan alternatif kegiatan yang positif untuk mengisi waktu luang para siswa. Meski demikian, kegiatan ini sebaiknya selesai di sekolah sehingga anak-anak tidak memiliki alasan untuk menghabiskan waktu di luar rumah selepas jam sekolah.
Menurutnya, perlu dibentuk sebuah kelompok kerja untuk menangani perilaku klitih yang bisa menampung anak-anak yang menjadi korban untuk melapor dan meminta perlindungan.
“Jika keluarga ini tidak mampu untuk melakukannya, maka Pokja ini bisa membantu, karena selalu alasannya balas dendam karena anggota dilukai. Maka mari laporkan saja dan diselesaikan secara hukum sehingga lingkaran setan itu bisa diputus,” pungkasnya.(arm)