Untuk mengantisipasi dan meminimalisir terjadinya gugatan sengketa bisnis di lembaga arbitrase internasional, pakar Hukum UGM mengusulkan agar pemerintah segera merevisi UU tentang Arbitrase, yakni UU No 30 tahun 1999, karena beberapa pasal sudah sesuai dengan perkembangan hukum bisnis dan kaidah ketentuan hukum arbitrase internasional. Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam Seminar Nasional yang bertajuk Arbitrase sebagai Penyelesaian Sengketa Bisnis dan Perkembangannya yang berlangsung di Fakultas Hukum UGM, Rabu (27/11).
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Prof M Hawim mengatakan hukum arbitrase internasional semakin maju dan berkembang namun di Indoensia masih menggunakan kita undang-undag hukum perdata yang merupakan peninggalan dari masa kolonial Belanda. Sementara isi UU tentang Arbitrase banyak emngacu pada KUHP tersebut. Ia mengusulkan agar pemerintah dan DPR perlu merevisi UU tersebut. “Sebaiknya perlu diubah agar bisa menyesuaikan dengan konvensi dunia hampir sama dengan arbitrase internasional,” katanya dalam keterangan tertulisnya yang dikutip pada Kamis (28/11).
Menurutnya, penyesuaian tersebut setidaknya akan mampu menarik negara lain untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kalaupun nanti terjadi sengketa bisnis, dipastikan penyelesaian hukumnya pun menyesuiakan dengan ketentuan hukum yang ada di Indonesia yang kaidah hukumnya sudah sesuai dengan aturan dalam hukum arbitrase internasional.
Selain melakukan revisi, kata Hawim, lembaga pengurusan sengketa bisnis arbitrase di Indonesia jauh tertinggal dengan lambaga arbitrase yanga ada di China bahkan lembaga arbitrase internasional. Bahkan saat ini di China, sudah ada aturan yang mengatir ketentuan pengurusan arbitrase secara online.
Pakar Hukum Arbitrase UGM, Herliana Ph.D., mengatakan soal kekalahan Indonesia dalam sengketa bisnis di Mahkamah Arbitrase Interbnasional perlu dipertimbangkan karena ganti rugi yag harus dibayarkan oleh pemerintah tersebut menggunakan uang rakyat. Menurutnya, kekalahan dalam sengketa bisnis tersebut disebabkan Indonesia masih menggunakan KUHP perdata, sementera putusan hukum arbitrase internasional mengikat dan berlaku hampir di 150 negara. “Kesulitan kita di sini, ketentuan hukum arbitrase interbasional tidak dikenal di Indonesia, sehingga menjadi halangan tersendiri,” katanya.
Apabila tidak didilakukan perubahan dengan ketentuan hukum arbitrase di Indoensia ini menurut Herliana, ia yakin Indonesia akan selalu kalah apabila digugat dalam pengadilan arbitrase internasional. Meski setiap sengketa bisnis tersebut tetap mengupayakan itikad baik dan prinsip keadilan. “Arbitrase itu mencari jalan terbaik untuk mencegah dari persoalan hukum,” katanya.(rls)