Sleman, KabarJogja.ID - Peneliti dari Universitas Nara Woman, Jepang, Prof. Dr. Etsuko Matsuoka memaparkan hasil penelitiannya mengenai peran bidan dalam bidang kesehatan reproduksi di Indonesia dari era tahun 90-an hingga pasca kebijakan jaminan kesehatan nasional. Dari hasil penelitiannya, ia mengungkapkan bahwa bidan yang melakukan praktik mandiri banyak kehilangan pasien akibat adanya pemberlakuan BPJS. "Lebih bayak pasien memilih untuk melahirkan lewat rumah sakit atau dokter kandungan," kata Etsuko Matsuoka dalam seminar yang bertajuk Impact of Reproductive Health Policies on Women's health di Ruang Semionar Agus Dwiyanto, Gedung Masri Singarimbun, PSKK UGM, dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (29/11).
Padahal sebelumnya pada era tahun 1990-an masyarakat pedesaan memilih melahirkan lewat dukun bayi. Lalu terjadi pergeseran melalui penguatan peran bidan untuk meningkatkan kesehatan reproduksi perempuan."Sejak awal dulu di pedesaan, peran dukun bayi dan bidan sangat menentukan, lalu waktu itu ada semacam pergeseran peran dari dukun bayi lambat laun ditangani oleh bidan karena ada kebijakan pada waktu itu," katanya.
Seiring berjalannya waktu, banyak pasien ibu hamil memilih melahirkan di tangan bidan, sehingga banyak bidan membuka praktik sendiri.
Adanya target pemerintah untuk mencapai program pembangunan melalui MDGs ke SDGs dilanjutkan dengan pemberlakuan BPJS, proses persalinan lebih banyak dilakukan di rumah sakit sebagai rujukan dari pihak dokter keluarga, klinik pratama atau puskesmas. "Ke arah sini, semakin lama pasien banyak dirujuk ke rumah sakit dibandingkan ditangani oleh bidan dengan alasan faktor risiko," katanya.
Matsuoka menuturkan bahwa salah satu rumah sakit bersalin di Jogja menunjukkan sekitar 54 persen pasiennya lebih memilih melakukan operasi caesar. "Satu dari dua persalinan diarahkan ke caesar sehingga peran bidan semakin mengecil dialihkan ke dokter obsgin," katanya.
Selain faktor risiko dengan rujukan ke rumah sakit, bidan juga menghadapi kendala bahwa ia tidak bisa menangani langsung pasien yang memegang kartu BPJS. Sebab aturan yang berlaku harus melalui rujukan dari dokter keluarga. Jika pun ia menerima pasien dengan peserta BPJS, pergantian klaim biaya yang diberikan BPJS ke bidan dengan persalinan normal hanya diberikan sebesar Rp 750 ribu. Jumlah tersebut menurutnya belum cukup untuk menutupi seluruh biaya persalinan "Biaya itu tidak menutup seluruh biaya persalinan," katanya.
Penelitian soal kesehatan reproduksi perempuan Indonesia ini masih terus berlangsung, Matsuoka belum mau berkesimpulan lebih jauh. Namun begitu, ia menyampaikan salah satu hasil dari penelitian ini bahwa dampak kebijakan pemberlakuan BPJS ini berdampak pada peran bidan semakin berkurang. "Apakah strategi ini mampu memperbaiki kesehatan reproduksi pada perempuan? saya tidak tahu, perlu ada penelitian selanjutnya," katanya.(Aya)