GUNUNGKIDUL, KabarJogja.ID - Kabupaten Gunungkidul memiliki kondisi geografi beru[pa perbukitan dengan sebagian lahan yang tandus. Mayotritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani, membuat wilayah ini menjadi penghasil tanam-tanaman pangan.
Pada era modern saat ini, tanaman pangan lokal seolah terus tergerus oleh makanan-makanan cepat saji maupun aneka inovasi. Namun berkat sentuhan seorang perempuan paruh baya, bernama Suparjiyem warga Desa Wareng, Kecamatan Wonosari, makanan lokal masih bisa tetap eksis bahkan hingga ke mancanegara.
Suparjiyem mengatakan sudah mulai tertarik dengan makanan hasil tanaman lokal sejak ia masih duduk di bangku sekolah. Saat kecil dirinya terbiasa membawa bekal nasi ketika sekolah. "Sedangkan teman-teman saya saat sekolah banyak yang bawa tiwul," katanya, di Pemkab Gunungkidul Sabtu (26/10).
Ia kemudian mulai tertarik dengan makanan lokal. Suparjiyem pun bertekad menjadi petani usai lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dirinya mulai menanam umbi-umbian, seperti singkong, gembili, hingga uwi, dan garut. Umbi-umbian menurutnya, bisa diolah menjadi makanan sehat seperti nasi, hingga dibuat camilan.
"Makanan dari umbi-umbian itu sejak ada padi tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Padahal itu merupakan makanan sehat, dan tanpa dibudidayakan secara khusus sudah tumbuh dengan sendirinya," ucapnya.
Saat ini dirinya bersama 31 anggota Kelompok tani Wanita (KWT) Menur, terus memperkenalkan makanan lokal. "Menanam singkong, uwi, suweg tidak perlu bahan kimia dan pestisida. Selain itu tahan kekeringan," katanya.
Berkat tekadnya tersebut, dirinya sudah sering menjadi pembicara dalam seminar baik tingkat nasional. Bahkan sampai ke beberapa negara tetangga, seperti Thailand, Srilangka, dan Australia.
"Di Australia, saya mengajari memasak sayuran dan umbi umbian. Di sana banyak tumbuh sayuran. Orang di sana itu banyak yang tidak makan daging, jadi saya ajari mengolah makanan," paparnya.
Pada era modern saat ini, tanaman pangan lokal seolah terus tergerus oleh makanan-makanan cepat saji maupun aneka inovasi. Namun berkat sentuhan seorang perempuan paruh baya, bernama Suparjiyem warga Desa Wareng, Kecamatan Wonosari, makanan lokal masih bisa tetap eksis bahkan hingga ke mancanegara.
Suparjiyem mengatakan sudah mulai tertarik dengan makanan hasil tanaman lokal sejak ia masih duduk di bangku sekolah. Saat kecil dirinya terbiasa membawa bekal nasi ketika sekolah. "Sedangkan teman-teman saya saat sekolah banyak yang bawa tiwul," katanya, di Pemkab Gunungkidul Sabtu (26/10).
Ia kemudian mulai tertarik dengan makanan lokal. Suparjiyem pun bertekad menjadi petani usai lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dirinya mulai menanam umbi-umbian, seperti singkong, gembili, hingga uwi, dan garut. Umbi-umbian menurutnya, bisa diolah menjadi makanan sehat seperti nasi, hingga dibuat camilan.
"Makanan dari umbi-umbian itu sejak ada padi tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Padahal itu merupakan makanan sehat, dan tanpa dibudidayakan secara khusus sudah tumbuh dengan sendirinya," ucapnya.
Saat ini dirinya bersama 31 anggota Kelompok tani Wanita (KWT) Menur, terus memperkenalkan makanan lokal. "Menanam singkong, uwi, suweg tidak perlu bahan kimia dan pestisida. Selain itu tahan kekeringan," katanya.
Berkat tekadnya tersebut, dirinya sudah sering menjadi pembicara dalam seminar baik tingkat nasional. Bahkan sampai ke beberapa negara tetangga, seperti Thailand, Srilangka, dan Australia.
"Di Australia, saya mengajari memasak sayuran dan umbi umbian. Di sana banyak tumbuh sayuran. Orang di sana itu banyak yang tidak makan daging, jadi saya ajari mengolah makanan," paparnya.