Sleman, Kabar Jogja – Kepala Badan Karantina, Sahat Manaor Panggabean menyebut komoditi sarang burung walet (SBW) asal Indonesia mendominasi pasar global dengan penguasaan hampir 75 persen lebih.
Tingginya minat pada SBW asal Indonesia menjadikan pemerintah terus mempercepat proses hilirisasi pada komoditas ini.
Hal ini disampaikan Sahat saat hadir dalam Lokakarya Nasional Memperkuat Hilirisasi Ekspor Sarang Burung Walet (SBW), Sabtu (26/4) di Auditorium Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Lebih dari 75 persen SBW dunia berasal dari Indonesia, ini peluang sekaligus tantangan. Saat ini ekspor SBW terbanyak masih ke Hongkong, disusul China dan Vietnam,” katanya.
Keinginan pemerintah mendorong hilirisasi ekspor SBW sebagai bagian dari strategi industrialisasi yang berdampak luas pada peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat.
Proyek hilirisasi juga diarahkan untuk melibatkan petani tambak, petani perkebunan, hingga masyarakat sekitar, sehingga dampaknya bisa dirasakan secara langsung oleh berbagai lapisan.
“Hilirisasi tidak hanya berhenti pada proses awal pengolahan, melainkan menjadi pintu masuk menuju industrialisasi menyeluruh. Terdapat 49 perusahaan pengolahan SBW yang mengekspor ke China, estimasi penyerapan tenaga kerja mencapai 24.400 orang, belum termasuk pekerja tidak langsung,” terangnya.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Agung Suganda, menyatakan permintaan SBW di pasar global sangat tinggi dan belum terpenuhi. Rata-rata pertumbuhan volume ekspor SBW periode 2020–2024 tercatat 0,63 persen, sementara pertumbuhan nilai ekspor mencapai 4,24 persen.
“Pada 2024, volume maupun nilai ekspor berkurang akibat menurunnya permintaan impor dari China sebesar 12,7 persen. Atas kondisi ini pemerintah melakukan diplomasi perdagangan, penguatan regulasi ekspor, registrasi rumah walet, hingga pemberian insentif berupa penurunan pajak daerah bagi para pelaku ekspor,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Peternak Pedagang Sarang Walet Indonesia, Ach Wahyuddin Husein, menilai regulasi SBW saat ini masih belum cukup berpihak pada pelaku UMKM, khususnya yang memiliki keterbatasan modal.
“Contohnya, dalam MoU Import Protocol dengan China, hanya produk SBW premium yang diterima. Dari total produksi 1.500 ton, yang bisa masuk ke pasar China hanya sekitar 500 ton. Ini pekerjaan rumah bersama," ujarnya.
Dekan Fapet UGM, Budi Guntoro, menegaskan kesiapan pihaknya mendukung pengembangan dan hilirisasi SBW. Ia menyampaikan bahwa dari sisi fasilitas dan sumber daya manusia, perguruan tinggi siap berkontribusi dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing SBW Indonesia.
“Dengan hilirisasi yang kuat, kita berharap akan semakin banyak produk turunan SBW yang tidak hanya diekspor, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sendiri,” tutup Budi. (Tio)