Yogyakarta, Kabar Jogja – Taman Budaya Yogyakarta (TBY) kembali menggelar parade pentas teater bertajuk Linimas#7 mulai 16-18 Oktober. Mengambil tema ‘Kota, Arsip, dan Teks’, akan tampil enam kelompok teater lintas genre dan bentuk.
Dirilisnya, Kepala TBY Purwiati mengatakan pentas Linimasa menjadi agenda tahunan yang terus diupayakan menjadi ruang khusus bagi seniman teater di Yogyakarta. Menurutnya, saat ini seni teater telah menjadi salah satu hal penting yang membawa pengaruh besar di Yogyakarta.
“Ini adalah ruang teman-teman mengekspresikan ide dari teater konvensional maupun yang sudah dikembangkan. Teater menjadi bahasa lain menangkap berbagai fenomena yang ada di Kota Yogyakarta yang kerap kali fenomena itu terabaikan,” katanya Rabu (16/10).
Dinyatakan enam tim yang enam tim yang tampil nanti merupakan hasil seleksi dari 26 kelompok yang mendaftar. Kelompok teater tersebut berasal dari komunitas teater kampung, pelajar, kampus dan sanggar atau kelompok teater non-profesional.
Kelompok teater lintas genre dan bentuk yang akan hadir di antaranya Teater Sanggar Anak Alam, Studi Seni Ngathabagama, Teater Mlati, Kinemime Nusantara, Young Artist From Yogyakarta, dan Komunitas Manah Ati.
“Kelompok yang terpilih sudah berproses sejak Agustus. Harapannya Linimasa#7 menjadi program pengembangan seni teater TBY khususnya basis penciptaan teater bagi kelompok teater di Yogyakarta. Bahkan ada kelompok yang mengambil langkah riset teater dalam penciptaan lakonnya,” terangnya.
Kurator Linimasa #7 Elyandra Widharta menyatakan pemilihan tema ‘Kota, Arsip, dan Teks’ dikarenakan penyelenggaran ingin menampilkan kompleksitas dan fenomena yang sedang bergeser.
Dimana Yogyakarta menjadi bagian dari perubahan sosial yang cukup cepat dengan bermunculnya ancaman-ancaman dan potensi dari persoalan pelik seputar sampah, dinamika sosial-ekonomi, kontestasi politik lokal.
“Kemudian ada relasi kuasa, ruang margin terdampak upaya revitalisasi benteng keraton, sesekali teror kekerasan jalanan dan sebagainya. Yogyakarta hari ini makin bising dan macet,” kata.
Dengan menjadikan banyaknya ruang-ruang romantisme dalam gang-gang kampung mulai terpinggirkan. Maka hal intu menjadikannya tinggal menjadi arsip hidup yang carut marut dan saling berkelindan dengan teks-teks yang berjejalan dengan dinamis dan transformatif.
Mewakili Teater Mlati, Efa Rohmana timnya akan menampilkan judul ‘Kota Sampah’ sebagai upaya merespon fenomena persoalan sampah yang tak kunjung usai. Pementasan ini ingin memberikan pesan tentang dampak abai jika sampah tidak dikelola baik.
“Konsep penampilan yang akan dibawakan sedikit berbeda dengan konsep teater kebanyakan yang berkomunikasi dengan bahasa verbal. Kali ini akan lebih banyak gerakan tubuh. Konsepnya memang tidak banyak menggunakan bahasa lisan,” tandasnya.
Kemudian dari Teater Sanggar Anak Alam, Khasanah Rahmawati mengungkapkan, penampil yang dia gandeng merupakan anak-anak berusia 4-12 tahun. Ia tertarik untuk mengangkat isu tempat bermain anak yang mulai menipis di Kota Jogja.
“Kami ingin menunjukkan fenomena anak-anak yang menginginkan taman bermain di tengah kota. Kami juga mengajak untuk bisa mendengarkan suara anak dan apa yang diinginkan mereka,” katanya. (Set)