Yogyakarta, Kabar Jogja – Para dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) menilai respon positif warga Daerah Istimewa Yogyakarta dalam berbagai program-program pembangunan berkelanjutan terkendala regulasi dari pemerintah.
Hal ini terungkap dalam seminar nasional ‘Kebudayaan Dalam Pembangunan Berkelanjutan’, yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UWMY pada Jumat (6/10) kemarin.
Dekan Fisipol As Martadani Noor menyatakan respon masyarakat Yogyakarta yang positif terhadap program-program pembangunan berkelanjutan. Dikarenakan karena kondisi tingkat pendidikannya. Dimana warga makin memahami dan merespon positif pembangunan berkelanjutan.
“Masyarakat Yogyakarta memiliki pandangan yang progresif terhadap pembangunan berkelanjutan, dan berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan budaya di daerahnya,” katanya dalam rilis Sabtu (7/10).
Sebagai contoh, masyarakat Yogyakarta aktif dalam melakukan aksi-aksi penghijauan, kampanye pengurangan penggunaan plastik, dan pengelolaan sampah yang baik.
“Tantangannya, masalah kebijakan dan regulasi dari pemerintah yang kurang jelas, menjadi hambatan dalam mendorong pembangunan berkelanjutan di daerah ini,” terangnya.
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi, Sosial, dan Budaya Masduki, menyatakan, problem-problem dampak pembangunan berkelanjutan idealnya bisa diurai dan dijembatani oleh digitalisasi teknologi informasi pembangunan.
Harapan itu bertepuk sebelah tangan karena platform-platform digital di Indonesia cenderung miskin informasi dan tak berbudaya.
“Pemiliknya segelintir kapitalis nasional dan internasional. Mereka tidak hanya memproduksi informasi melalui media online dan media sosial, juga menggembangkan berbagai platform, seperti platform bisnis dan mengelola perdagangan online di dalamnya,” ujarnya.
Para pemodal tersebut berpikir soal bisnis dan akumulasi modal, sebaliknya mereka tidak peduli atau tidak bertanggung jawab terhadap problem-problem efek digitalisasi platform.
“Mereka mengoperasikan platform informasi maupun bisnis serta media di dalamnya mengacu pada selera pasar dan bisnis, bukan mengantisipasi bagaimana dampak sosial dari platform yang mereka kelola,” tutupnya. (Tio)