Yogyakarta, Kabar Jogja - Perbedaan penentuan hari raya sudah kerap terjadi di Indonesia. Utamanya antara organisasi masyarakat (ormas) Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan pemerintah.
Berbagai upaya juga telah dilakukan pemerintah untuk mendudukkan persoalannya, tetapi setiap organisasi tetap memegang teguh metodenya masing-masing. Pemerintah kemudian memberikan keleluasaan setiap pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya.
Menanggapi perbedaan itu, Senator Indonesia Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Menurutnya, kalau perbedaan ini dijadikan alasan untuk saling mencaci atau mengumpat kelompok lainnya, berarti orang itu tidak memahami hakikat hari raya.
“Perbedaan itu kan hal biasa. Sudah terjadi bertahun-tahun, saya kira kita tidak perlu jadi bahan untuk mencaci maki. Karena hakikat dari hari raya adalah kita semua berbahagia. Di saat bahagia kok malah saling mencaci, kan aneh itu,” ujar pria yang akrab disapa Gus Himy itu tersebut pada Selasa (18/4) melalui pernyataan tertulis kepada media.
Pria yang juga Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut menjelaskan, agama menyuruh kita memberikan sebagian harta kepada fakir miskin berupa zakat fitrah, agar tidak ada seorang pun yang kekurangan makanan dan bisa merayakan kebahagiaan bersama. Bahkan kita punya ajaran adiluhung untuk saling memaafkan, sowan kepada yang lebih sepuh serta meminta nasihat. Ini merupakan budaya adiluhung khas nusantara yang patut dilestarikan.
“Jadi di hari bahagia itu, jangan sampai kita mengotorinya dengan caci maki dan kebencian. Jadi kita tak perlu mempertentangkannya lagi. Apalagi bagi warga Nahdliyin, harus mengutamakan toleransi,” kata Anggota Komite I Dewan Perwakilakilan Daerah (DPD) RI tersebut.
Perlu diketahui, perbedaan itu terjadi karena metode pengambilan keputusannya yang berbeda. Satu pendapat menyatakan bahwa bulan (hilal) sudah ada atau sudah wujud, jadi sudah bisa dikatakan masuk bulan Syawwal. Sementara pendapat yang lain menyatakan bahwa hilal baru bisa terlihat secara kasat mata bila sudah dalam posisi lebih dari 3 derajat.
“Sebenarnya kita punya kesepakatan dengan negara tetangga. Pemerintah melalui Kementerian Agama bersama dengan kementerian terkait dari Kerajaan Malaysia, Thailand, Brunei, dan Singapura sebenarnya sudah sepakat dengan kriteria 3 derajat ini. Sebenarnya, dengan menggunakan batas minimal 3 derajat itu, kemungkinan kompromi bisa diupayakan ya. Sayang sekali,” jelas pria yang juga Anggota Majelis Ulama Indonesia tersebut.
Dalam upaya memberikan kesepahaman, pemerintah tidak boleh abai pada perbedaan ini. Menurut Gus Hilmy, pemerintah justru wajib mengawal perbedaan tersebut agar tidak membesar dan berdampak buruk.
“Meskipun berbeda pandangan, negara wajib melindungi kepentingan umat beragama dalam menjalankan kewajibannya. Termasuk juga tahapan ibadahnya, seperti rangkaian hari raya ada takbiran, zakat fitrah, shalat ied, silaturahmi, dan seterusnya. Meski demikian, menjaga bukan berarti mengintervensi,” pungkas salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak tersebut. (rls)