Sleman, Kabar Jogja - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen (year on year/yoy), turun dibandingkan dengan capaian pada kuartal I sebesar 2,97 persen (yoy).
Pakar ekonomi UGM, Dr. Eddy Junarsin, mengungkapkan bahwa kondisi ini memang sudah diprediksi sebelumnya. Pertumbuhan negatif juga diproyeksikan masih akan terjadi di kuartal III, dan pertumbuhan positif baru bisa terjadi pada kuartal IV-2020.
“Kita perlu hati-hati di kuartal III, ini masih menjadi tanda tanya besar. Harapannya di kuartal IV bisa mulai positif meski tidak bisa tinggi, dengan catatan penanganan Covid-19 berjalan lebih baik,” ucapnya.
Penurunan pertumbuhan ekonomi, paparnya, terjadi pada seluruh komponen PDB. Konsumsi rumah tangga, misalnya, mengalami kontraksi sebesar 5,51 persen, sementara sektor Investasi mencatat kontraksi 8,61 persen.
Terkait bahaya resesi ekonomi yang dikhawatirkan banyak pihak, Eddy menerangkan, jika menggunakan definisi resesi sebagai defisit perekonomian selama 2 kuartal berturut-turut maka Indonesia memang belum mengalami resesi.
Indonesia sendiri belum memiliki indeks seperti halnya The Chicago Fed National Activity Index di Amerika Serikat yang dirancang untuk mengukur aktivitas ekonomi secara umum, sehingga standar yang digunakan masih berupa defisit angka pertumbuhan ekonomi.
Namun jika resesi dipahami sebagai penurunan aktivitas ekonomi secara umum, maka Indonesia sebenarnya bisa disebut sudah memasuki resesi.
“Ada kemungkinan kita sebenarnya sudah memasuki resesi dalam artian sebenarnya,” ungkapnya.
Pemulihan ekonomi nasional, tuturnya, sangat bergantung pada keberhasilan penanganan pandemi Covid-19. Meski aktivitas perekonomian beberapa bulan terakhir mulai kembali berjalan, namun tren jumlah kasus Covid-19 yang tidak kunjung mengalami penurunan menyebabkan banyak pelaku ekonomi masih akan menunggu perkembangan situasi.
“Kalau masih seperti ini, semua komponen ekonomi masih wait and see, jadi pertumbuhan akan sulit. Kalau bisa di atas nol itu sudah prestasi,” kata Eddy.
Situasi ini, terangnya, sejalan dengan melemahnya ekonomi global akibat pandemi Covid-19. Untuk mendorong kinerja perekonomian, pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah kebijakan moneter dan fiskal, misalnya dengan menggenjot belanja negara dan menurunkan suku bunga.
Langkah ini memang bukan merupakan solusi jangka panjang, namun ini adalah upaya yang dilakukan untuk mendorong pemulihan aktivitas ekonomi dalam negeri yang sempat menurun drastis sebagai dampak dari penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kebijakan ini, terangnya, umum dilakukan dan memang paling tepat untuk diterapkan di masa krisis seperti yang dihadapi Indonesia saat ini.
Meski demikian, untuk membangkitkan kembali perekonomian Indonesia, langkah yang paling penting untuk dilakukan menurutnya terletak pada perbaikan penanganan Covid-19. Tanpanya, kebijakan ekonomi yang diambil tidak akan memberikan hasil yang diharapkan.
“Siapa pun yang menjadi Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pasti akan melakukan hal yang sama. Tapi kebijakan ekonomi walau arahnya sudah benar dan memang harus dilakukan, kalau kondisinya seperti ini kita tetap tidak akan ke mana-mana,” imbuhnya.(rls)